Dibangun sejak 1907, masjid ini khusus untuk jemaah pria
Merdeka.com, Makassar - Di kawasan barat Makassar, tepatnya jalan Lombok yang termasuk kawasan Pecinan, berdiri Masjid Assaid. Oleh sebagian masyarakat, masjid ini dikenal dengan nama masjid Arab.
Bukan kebetulan, sebab masjid yang mulai dibangun pada tahun 1907 ini memang merupakan peninggalan saudagar Arab. Habib Hasan bin Muhammad Assaufi asal Hadramaut, Yaman, dikenal sebagai salah satu perintis masjid, bersama dengan sekelompok kerabat asal India dan Pakistan.
"Didirikan di sini karena dekat dengan pelabuhan yang menjadi salah satu pusat aktivitas pada masa itu. Masjid ini menjadi wadah untuk menyebarkan agama Islam, beribadah, dan berinteraksi dengan sesama masyarakat," kata salah satu imam masjid Assaid, Habib Alwi Al Bafaqih.
Sejak berdiri, bentuk bangunan masjid Assaid tetap dipertahankan. Arsitektur memadukan gaya Timur Tengah dan nuansa lokal nusantara. Itu terlihat dari bentuk luar terutama kubah masjid, yang disebut mirip dengan kubah Masjid Demak di Jawa.
"Mungkin maksudnya ingin menunjukkan bahwa nuansa Islam tidak selalu harus mirip dengan nuansa Arab," kata Alwi.
Sejauh ini masjid pernah direnovasi sebanyak tiga kali. Renovasi terakhir, pada tahun 1998, mengembalikan bentuk masjid paling mirip dengan aslinya waktu mulai dibangun.
"Sebenarnya bangunan tidak pernah berubah. Cuma dinding dan lantai yang dilapisi macam-macam bahan. Terakhir dikembalikan ke marmer," Alwi melanjutkan.
Salah satu yang unik dari masjid ini adalah pintu yang berjumlah sembilan. Sembilan, menurut kitab Quran, disukai Allah karena berjumlah ganjil. Alasan lain pembangunan banyak pintu adalah agar para jemaah yang terpaksa berada di luar dinding bisa menjalankan ibadah secara berkesinambungan dengan yang di dalam.
Meski terletak di antara pemukiman etnis Tionghoa, Masjid Assaid nyaris tidak pernah sepi di waktu shalat. Masjid ini disebut punya semacam jemaah tetap, yang berasal dari berbagai penjuru di Makassar dan sekitarnya. Sebagian merupakan keturunan Arab yang menjadi perintis masjid.
Salah satu alasan ramainya jemaah, karena masjid ini mempertahankan tradisi dzikir yang mungkin tidak didapatkan di tempat lain. Termasuk di bulan Ramadan. Biasanya, jelang waktu Isya, digelar puji-pujian qasidah bersama para jemaah. Demikian juga sebelum masuk dan setelah waktu tarawih. Terdapat sejumlah wirid panjang dipimpin imam.
"Di malam ke 27 kita gelar buka puasa besar-besaran dan menyajikan makanan khas Timur Tengah. Sekaligus menggelar doa bakti ke orang tua dan khatam Al Quran," ujar Habib Alwi.
Khusus jemaah pria
Salah satu yang khas dari masjid Assaid adalah tidak adanya ruang bagi jemaah wanita. Pada waktu-waktu shalat, jemaahnya juga hanya lelaki. Itu bukan kebetulan, karena pengurus masjid memang menghendaki demikian.
Sejak mulai awal dibangun, masjid Assaid dipertahankan hanya bagi jemaah pria. Itu sebagai pelaksanaan hadist Rasulullah SAW, yang berbunyi sebaik-baiknya shalat wanita adalah di dalam rumahnya.
"Bukan berarti masjid lain yang menampung jemaah wanita itu salah. Kami hanya ingin mempertahankan apa yang sudah dilakukan para pendahulu kami," kata Alwi. "Walau begitu, sesekali juga ada wanita yang shalat di sini. Mungkin mereka yang kebetulan lewat dan tidak tahu kalau ini khusus pria. Untuk yang seperti itu tidak mungkin kami minta keluar. Tetap dibiarkan."